Selasa, 08 Desember 2009

Sejarah Kerajaan Borisallo II

Masa Tumanurunga

Ketika Tumanurung Baineya diangkat menjadi ratu di butta Gowa, beliaulah yang berhasil mempersatukan wilayah Kerajaan Gowa yang tergabung dalam Kasuwiang Salapanga yang terdiri dari Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Saumata, Parangarang, Data, Agang Je'ne, Bisei, Kalling Dan Sero.

Ketika negeri dalam keadaan aman, suatu ketika, Sang Ratu kemudian melakukan perjalanan keliling kebeberapa kerajaan tetangga. Ia kemudian berangkat dari istananya di bukit Tamalate menuju muara Sungai Jeneberang. Dari muara, Tumanurung kemudian berjalan menelusurinya hingga kehulu sungai. Dari Kampung Lanna, ia kemudian membelok ke arah anak sungai menuju sebuah persawahan di daerah Pammolongang.
Ketika sampai di daerah Pammolongang. Dalam keadaan hujan gerimis, penduduk setempat mendengar suara gemuruh disertai kilat. Bunyi gemuruh itu membuat warga panik dan ketakutan sambil melihat ke arah suara gemuruh yang terletak di pohon ganjeng (sirih) itu.
Dari suara gemuruh yang disertai kilat dipohon ganjeng itulah, tiba-tiba muncul sinar yang menerangi perkampungan disekitar Pammolongang. Ketika diperhatikan secara seksama, sinar itu kemudian berubah menjadi seorang putri yang cantik jelita dengan memakai mahkota, kalung, gelang dan cincin. Warga di Pammolongang saat itu menyebutnya putri ratu sebagai Tumanurung ri Pammolongang (Putri yang turun di Negeri Pammolongang) yang juga lebih dikenal dengan nama Lao Punranga.
Konon, kedatangan Tumanurung bainea dari Gowa ke negri Pammolongang ketika itu, semata-mata ingin menyelamatkan negri itu yang dilanda keretakan. Tumanurung Baineya kemudian mengutus putri cantik untuk menjadi pemimpin di negeri Borisallo. Tumanurung itu kemudian diturunkan di sebuah Pohon Ganjeng di Pammolongang.
Ketika itu di Kerajaan Borisallo, terdapat sembilan negeri yang masing-masing punya otonomi. Para pemimpin negeri kecil itu diberi nama Toddo (pemimpin). Konon, rakyat di 9 negeri itu, tak ada yang akur, karena tidak adanya seorang pemimpin yang bisa mempersatukan mereka.
Kesembilan toddo yang dimaksud adalah:
1. Toddo Pammolongang
2. Toddo Galesong
3. Toddo Pakkolompo
4. Toddo Mangempang
5. Toddo Allukeke
6. Toddo Bontojai
7. Toddo Pattalassang
8. Toddo Kassi, dan
9. Toddo Parangloe.
Para pemimpin 9 Toddo itu kemudian sepakat untuk mengangkat Tumanurunga sebagai Rajanya. Mereka mengangkatnya sebagai Ratu di Borisallo, karena dianggap bukanlah orang biasa (Tiai tau samara), karena ia diturunkan dari negeri khayangan untuk menjadi pemimpin di Negeri Borisallo.
Ketika diangkat menjadi ratu di Kerajaan Borisallo, warga setempat kemudian membangunkan istana di Pakkolompo yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan.
Disekitar istana itu, terdapat hamparan persawahan yang disebut Tana Karaeng. Disampingnya terdapat sebuah kawasan hutan yang disebut Romang Karaeng yang dijadikan sebagai tempat perburuan rusa dan hewan lainnya.
Tempat turunnya Tumanurung di pohon ganjeng, hingga kini tetap dipelihara dan dianggap keramat oleh warga daerah Pakkolompo. Setip saat ada warga yang membawakan sirih pinang (pa'rappo) dengan harapan penduduk negeri Borisallo bisa mendapatkan keselamatan dan kemakmuran.
Masyarakat Borisallo saat itu takut kehilangan figur kepemimpinan Tumanurunga. Rakyat di 9 Toddo itu kemudian sepakat untuk mengawinkan putri ratu Tumanurunga ri Pammolongang dengan Karaeng Ponno. Dari hasil perkawinannya itu, membuahkan 2 orang anak yakni Yora Karaeng Bau dan Manrakkai Dg. Labba. Anak hasil perkawinan Tumanurunga ini, kemudian kawin mawin dengan kaum bangsawan dari berbagai negeri kerajaan di Sulawesi Selatan, termasuk kaum bangsawan di Kerajaan Borisallo dan manuju yang mengaku nenek moyangnya berasal dari Tumanurunga.


Read more...

Senin, 07 Desember 2009

Sejarah Kerajaan Borisallo

Masa Pemerintahan Dampang Togotogo

Kerajaan Borisallo merupakan salah satu kerajaan kecil yang tertua di wilayah kerajaan Gowa. Hal tersebut dapat dilihat dari nama negeri itu yang terdiri dari 2 kata yaitu 'Bori' dan 'Sallo'. Bori dalam bahasa Makassar berarti Daerah atau Wilayah sedangkan kata sallo berarti lama atau tua. Dengan demikian kata Borisallo berarti negeri yang tua.

Dari hasil penelitian dilapangan, telah muncul berbagai cerita dari Masyarakat berupa legenda atau dongeng yang hingga kini masih dipercaya kebenarannya oleh masyarakat Borisallo. Ada yang berpendapat, bahwa usia Borisallo itu jauh lebih tua dibanding dengan usia kerajaan Gowa (1320).
Dilihat dari silsilah turunan raja-raja Borisallo, dapat diketahui, bahwa kerajaan Borisallo itu bermula saat pemerintahan Dampang Togotogo. Berbicara masalai dampang yang berasti pemimpin atau pemerintah suatu negeri, itu dikenal cerita-cerita dongeng atau legenda bagi masyarakat Gowa, seperti Dampang Ko'mara dalam cerita legenda Syekh Yusuf Tuanta Salamaka. Demikian halnya pada Dampang Togotogo di Kerajaan Borisallo, termasuk masa prasejarah atau purba.
Berbicara masalah Tumanurung, masyarakat di Kerajaan Borisallo juga mengenal Tumanurung. Munculnya Tumanurung di Borisallo diperkirakan tidak jauh beda masanya dengan Tumanurung Bainea di Gowa. Apakah Tumanurung di Gowa lebih dulu datang ataukah Tumanurung Borisallo. Sebab dari hasil penelitian di daerah Borisallo, warga setempat hanya mengenal nama Tumanurung tanpa disertai kapan datangnya Sang Ratu Pemersatu ini. Mereka hanya tahu Sang Ratu itu turun didaerah sekitar Pammolongang sebuah perkampungan lama di Pakkolompo, sekarang masuk Desa Borisallo. Itulah sebabnya disebut Tumanurung ri Pammolongang.
Dampang Togotogo selama memerintah di Borisallo, Ia kawin dengan Dampang Kanniya, diperkirakan permaisurinya itu juga adalah seorang bangsawan karena bergelar Dampang.
Dari hasil perkawinannya itu, lahir seorang putra bernama Karaeng Pallowiya. Setelah Karaeng Pallowiya ini tumbuh menjadi dewasa, ia menjadi seorang remaja. Ia kemudian dikawinkan dengan salah seorang gadis bangsawan di Borisallo yang tak diketahui namanya, dari perkawinan itu maka lahirlah 2 orang putra , bernama Karaeng Janggoka dan Karaeng Ponno.
Karaeng Janggoka, dapat dikenal bahwa ia adalah seorang pemuda berjenggot. Sedangkan adiknya Karaeng Ponno, setelah dewasa kawin dengan Karaeng Nisauka. Karaeng Nisauka ini oleh warga setempat dikenal sebagai putri Tumanurunga ri Pammolongang.


Read more...

Kecamatan Parangloe

Kecamatan Parangloe adalah sebuah Kecamatan yang terletak disebelah timur Kab. Gowa. Kecamatan ini terbentuk kala pada tahun 1971.

Saat Gowa dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk ditolak atas PP Nomor 51/1971 tentang perluasan wilayah Kota Madya Makassar sebagai Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Dari PP tersebut, akhirnya Gowa menyerahkan Kec. Tamalate dan Panakukang serta Desa Barombong (Kec. Pallangga) kedalam wilayah Makassar.
Setelah penyerahan 2 kecamatan dan 1 desa tersebut ke Makassar, selanjutnya Pemerintah Daerah Tingkat II Gowa membentuk 2 Kecamatan sebagai Pengganti Kecamatan yang keluar itu, maka dibentuklah Kec. Somba Opu dan Kec. Parangloe yang didasarkan pada PP nomor 5 tahun 1971.
Kec. Parangloe saat itu mencakup 2 distrik yaitu Distrik Borisallo dan Distrik Manuju. Dibentuknya 2 kecamatan saat itu, Gowa kembali menjadi 8 wilayah kecamatan.
Adapun Kepala Distrik dan Camat yang pernah memerintah didistrik Borisallo dan Kec. Parangloe adalah:

1. Magguling Dg. Gassing
2. Malaganni Dg. Bila
3. Munassyar Dg. Makkio
4. H. Abbas Dg. Romo
5. Pagarra Dg. Rumpa
6. Iskandar Dg. Liong BA
7. Baharuddin. M. BA
8. Drs. H. Gani Sirman. M. Si
9. Drs. H. Hairil Muin. M. Si
10. Marsuki S. Sos. MM
11. Muh. Saleh Saud Krg. Tompo (Sekarang)

Demikian sejarah singkat terbentuknya Kec. Parangloe. Jika saudara pembaca merasa ada yang perlu ditambahkan silahkan tinggalkan komentar anda.


Read more...

Info Terbaru